KabarIndonesia - Penulis spesialis "In Memoriam" itu telah berpulang. Rosihan Anwar akhirnya kembali ke Sang Khalik setelah beberapa waktu lamanya menderita sakit pada kamis (14/4) pagi tadi pukul 08.15 WIB. Ia tutup usia pada umur 89 tahun, mengikuti istrinya Zuraidah Rosihan Anwar yang lebih dulu mendahuluinya 5 September 2010 lalu.
Indonesia kehilangan seorang warga negara terhormat yang pernah ditawan Soekarno maupun Soeharto dan korannya "Pedoman" di bredel. Dibredel di zaman Soekarno karena pemberitaan tentang Den Haag dan di zaman Orde Baru, antara lain karena pemberitaan korupsi Roeslan Abdulgani.
Ketaatan dan ketulusannya kepada bangsa dan negara menjadikan Rosihan, seorang pekerja berita yang humanis dan konsisten dengan perjuangannya. Penulis dan pelaku sejarah yang menghantar Jenderal Besar Soedirman dari hutan kembali ke kota Yogya bergabung dengan Hatta untuk menjaga jalan diplomasi dengan Belanda.
Lekat dengan "In Memoriam"
Rosihan lekat dengan judul "In Memoriam" (Latin) atau "In the Memory of" (Inggris), artinya "Dalam Kenangan akan... ". Rosihan Anwar sangat lengket dengan tulisan-tulisan sejarah atau biografi singkat tokoh sejarah atau masyarakat, yang senantiasa muncul dalam surat kabar nasional, khususnya (antara lain) harian Kompas.
Kematian orang-orang penting dan patut diteladani, dengan catatan-catatannya, menciptakan kelakar sejumlah kerabat, "Kalau Pak Ros meninggal, siapa yang akan menulis "in Memoriam Rosihan Anwar"?
Maka tidak sulit pula untuk menebak judul berita yang muncul seputar kematian almarhum Rosihan Anwar. Para jurnalis rekannya atau lebih yunior pun berebutan menggunakan judul yang akrab digunakan itu. Entah sekedar untuk mengucapkan selamat jalan ataupun ulasan seperlunya. Dalam tulisan-tulisan "In Memoriam"-nya Rosihan, seenantiasa digaris-bawahi beberapa hal amat penting (kadang pribadi) dari yang meninggal.
Karya "In Memoriam" Rosihan Anwar terakhir kali dijumpai dalam tulisannya tentang "In Memoriam Des Alwi", salah satu penulis dan pelaku sejarah asal Bandanaira Maluku. Tulisan Rosihan tentang Des Alwi itu tertanggal 13 November 2010 (Kompas), persisnya berjudul "In Memoriam Des Alwi".
Dengan judul yang sama, "In Memoriam Des Alwi", saya "menjiplak" secara positif judul Rosihan. Tapi dengan ulasan orisinil dengan tulisan sehari mendahului beliau di HOKI (tanggal 12 November 2010).
Saya tidak punya catatan yang cukup, tentang Kapan Rosihan memulai tulisannya tentang "In Memoriam", karena judul "In Memoriam" memang sangat lazim dalam penulisan sejarah atau sastra.
Tetapi, di dalam penulisan di Indonesia beberapa dekade ini, sangat akrab dengan nama besar Rosihan. Menarik pula untuk mencatat, malah ketika isterinya Zuraida meninggal (5 September 2010), Rosihan tidak menulis "In Memoriam Zuraida", misalnya. Malah, tentang isterinya itu, judul "In Memoriam Zuraida Rosihan Anwar" ditulis oleh H. Ilham Bintang (dalam Antara News).
Tapi, jangan salah terka soal perhatiannya kepada isterinya. Konon, sebuah tulisan tentang Zuraida justru sedang disiapkan untuk diluncurkan tanggal 10 Mei 2010, bertepatan dengan ulang tahunnya.
Filosofi Sebuah Memorandum
Filosofi eksistensial Romawi ini ada dalam spirit penulisan "in memoriam": Heri ei, Hodie mihi, tibi cras (kemarin dia, hari ini aku, besok Anda). Dia kemarin menulis, hari ini ditulis tentang dia, besok orang lain (mungkin) menulis tentang Anda, ya kita.
Bela rasa dalam "In Memoriam", betapa pun ada marah dan kesumat kepada seseorang, objektivitas tertentu menarik subyektivistis Anda keluar, "memaksa" Anda untuk menulis tentang kebaikan sosok yang Anda tulis untuk diteladani, sambil memaafkan kekurangannya. Tanggung jawab pejabat publik dengan bahasa privat adalah dua ruang berbeda.
Spirit memaafkan adalah sebuah kekuatan hidup. Mungkin itu pulalah yang membuat salah seorang saksi perjanjian Den Haaf 1947 itu masih hidup di tengah kita hingga usia lanjut. Selamat jalan senior Rosihan Anwar.
Generasi penerus menulis "In Memoriam" bangsa dan negara kita. Bertemu dengan Anda dan Bu Zuraida beriringan dalam kegiatan-kegiatan di Jalan Cik Ditiro 31, atau Jalan Sukabumi, dalam usia amat senior, memberi teladan hidup yang nyata, bukan sekedar yang dibaca. Jalan Surabaya, Menteng, memang hanya persinggahan ke rumah abadi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar